Cerpen Kisah Kebohongan Ibu Yang Membuat Kita
Menangis
(Kita Merenung Sedikit Ya Memberku Tercinta!)
Sebuah kisah membuat saya langsung menangis.
PEMBOHONGAN
IBU YANG PERTAMA.
Cerita ini bermula ketika saya masih kecil.
Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan
minum serba kekurangan. Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari
kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga. Sebagai anak yang masih kecil,
saya sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu
pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk saya.
Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : ”Makanlah nak ibu tak lapar.”
PEMBOHONGAN
IBU YANG KEDUA
Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih
sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah
rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit
makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar
yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk disamping kami
dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang
saya makan tadi. Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu
memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat
menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”
PEMBOHONGAN
IBU YANG KETIGA.
Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah.
Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang.
Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur.
Saya melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali
saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata : “Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke
kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.”
PEMBOHONGAN
IBU YANG KEEMPAT.
Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak
pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah
untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai
menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum
dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada Illahi agar saya lulus ujian dengan
cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan
segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang
dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang
ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera
memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu
cepat-cepat menolaknya dan berkata : “Minumlah
nak, ibu tak haus!!”
PEMBOHONGAN
IBU YANG KELIMA.
Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas
saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah
kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi
dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu.
Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang
semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan
kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu. Para
tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki
yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga. Tetapi ibu yang keras
hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki.”
PEMBOHONGAN
IBU YANG KEENAM.
Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan
mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya
istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi
ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk
memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar
sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu
tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang
itu, dan ibu berkata : “Jangan
susah-susah, ibu ada uang.”
PEMBOHONGAN
IBU YANG KETUJUH.
Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi
untuk mengejar gelar sarjana di luar Negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai
sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan
cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai
sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat
membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negara.
Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh
hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu
habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati,
menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di
negara orang.”
PEMBOHONGAN
IBU YANG KEDELAPAN .
Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua.
Suatu malam saya menerima berita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang
akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya
yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk
ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah
menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan
penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku
karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya. Saya dapat
melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu,
sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus. Saya menatap wajah ibu sambil
berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan
dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakit sekali melihat ibu dalam
keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetap tersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.”
Setelah mengucapkan pembohongan yang
kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali.
Anda beruntung karena masih mempunyai ibu dan
ayah. Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau ibu anda jauh dari mata, anda
boleh menelponnya sekarang, dan berkata, ‘Ibu,saya sayang ibu.’ Tapi tidak
saya, hingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun
saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya
membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan
nafasnya yang terakhir.
Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu…..
0 Response to "8 Kebohongan Ibu Yang Kita tidak Ketahui dan Membuat Kita Menangis"
Post a Comment